Demokrasi Digital dan Media Tradisional

 Demokrasi Digital

Demokrasi digital adalah istilah baru dalam menjelaskan persilangan relasi antara penggunaan media sosial, pemenuhan representasi dan artikulasi kepentingan, serta penguatan kelas menengah. Ketiganya merupakan faktor penting dalam menjelaskan konstelasi sosial-politik yang berkembang di Indonesia hari ini dengan memunculkan media sosial sebagai pilar demokrasi kelima setelah pers.

 

Kemajuan alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berpotensi mempengaruhi demokrasi hampir sama dengan area lainnya, seperti sains atau pendidikan. Efek dari dunia digital tentang politik dan masyarakat masih sulit diukur, dan kecepatan alat teknologi baru ini berkembang seringkali lebih cepat daripada kemampuan seorang sarjana untuk menilai mereka, atau kemampuan pembuat kebijakan untuk membuatnya sesuai dengan desain kelembagaan yang ada.

 

Teori sosial dan politik yang umum dipelajari hari ini sebagian besar merupakan warisan pemikiran dari revolusi industri yang berlangsung sekitar dua abad lalu. Jarang disadari bahwa gelombang revolusi berikutnya yang lebih dahsyat sedang berlangsung saat ini. Revolusi ini diyakini akan mengubah serta melahirkan teori dan praktik sosial baru yang mungkin belum pernah terprediksikan sebelumnya. Revolusi yang memiliki dampak sangat luas dan dalam pada peradaban manusia. Gelombang perubahan inilah yang disebut dengan revolusi digital. Ditandai dengan kehadiran internet yang masif dan perlahan menggantikan berbagai perangkat teknologi jadul (jaman dulu). Hampir semua teknologi analog tinggal menjadi kenangan. Radio, televisi, koran, dan media konvensional lain pun sudah sekarat ditutup oleh Google dan Youtube.

 

Gilardi (2016), dalam penelitian terbarunya tentang digital democracy, menjelaskan dengan gamblang tentang bagaimana teknologi digital ini juga memengaruhi proses demokrasi itu sendiri. Mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik, hingga perangkat dan saluran tata kelola pemerintahan pun mulai berubah. Tidak hanya di Barat, tetapi juga di belahan dunia mana pun di saat teknologi digital mulai mendominasi. Tidak hanya pada praktik politik dalam demokrasi kontemporer, revolusi teknologi digital ini juga secara langsung telah memengaruhi bagaimana ilmu-ilmu sosial direproduksi dan disebarluaskan. Big data, sains kompleksitas, crowd sourcing, mesin pembelajaran baru, hingga kurikulum ilmu sosial di berbagai perguruan tinggi rujukan dunia pun turut beradaptasi dengan revolusi digital ini. Demokrasi digital ialah era baru dalam sejarah manusia sekaligus masa depan dunia itu sendiri.


Contoh Kasus Demokrasi Digital

Fenomena yang sangat menarik, sebagai contoh, dalam sejarah kontemporer demokrasi dunia dan media tentu saja kampanye Barack Obama yang menggunakan web 2.0, seperti YouTube, MySpace dan terutama Facebook untuk menarik donasi dari pendukungnya. Obama mendapatkan dana kampanye sebesar 454 juta dollar Amerika Serikat (AS) dan menghabiskan 377 juta dollar AS, tertinggi dalam sejarah Amerika dan dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 95 persen dari situs jejaring sosial (Kompas, 1 November 2007).


Dalam sejarah demokrasi Indonesia, fenomena facebookers adalah yang pertama dan yang sangat signifikan, khususnya sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat. Ada dua contoh kasus yang mengemuka yaitu dukungan facebookers terhadap Prita Mulyasari terkait masalah dengan RS Omni Tengerang dan Gerakan 1.000.000 facebookers yang mendukung Bibit-Chandra yang mencapai lebih dari 1 juta pendukung. Harian Media Indonesia pada edisi 8 November 2009 menjadikannya headline.


Perlu diketahui, berdasarkan data resmi Facebook akhir Desember 2009, Indonesia, dengan jumlah pengguna 14.681.580 berada di posisi nomer empat di bawah Amerika, Inggris, dan Turki, tetapi dengan perkembangan yang paling pesat di bandingkan empat negera tersebut. Pada pertengahan tahun ini, bukan tidak mungkin Indonesia menduduki peringkat kedua mengingat jumlah penduduk kita lebih banyak dari Inggris.


 

Media Tradisional

Media tradisional sering disimbolkan sebagai media yang bersifat kuno, ketinggalan zaman, dan lainnya. Dalam terminologi tersebut media tradisional dianalogikan sebagai media yang lemah, tidak berdaya menghadapi pengaruh media modern, tidak memiliki potensi pasar, tidak mampu memuaskan konsumen dan lainnya.


Media tradisional saat ini sedang mengalami kekurangan pendukung, bahkan sebagian sudah terancam punah sehingga dianggap tidak lagi memiliki kekuatan untuk media komunikasi sosial. Media tradisional umumnya memiliki fungsi ritual, komunikasi, edukasi, dan hiburan. Media ini lebih popular dikenal sebagai media rakyat, atau kesenian rakyat. Coseteng & Nemenzo (dalam Jahi, 1998:48) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik. Media tradisional tampil dalam bentuk nyanyian rakyat, tarian, musik, drama/teater, pidato, dan lainnyabaik berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukan yang diwariskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988:53).


https://www.opendemocracy.net/en/democraciaabierta/does-digital-democracy-improve-democracy/

http://daomara.blogspot.com/2018/01/demokrasi-digital.html

https://media.neliti.com/media/publications/227966-pemanfaatan-media-tradisional-untuk-dise-da994ae1.pdf

https://mediaindonesia.com/opini/73975/demokrasi-digital

https://fitriafrilinda.wordpress.com/2011/01/11/demokrasi-digital/

Komentar